CSR
Kutipan informasi mengenai CSR
Kamis, 18 April 2013
karateristik CSR
Karakteristik Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
Dalamsuatu diskusi dengan lembaga pemerintah dan asosiasi sektor swasta baru-baru ini, diperoleh gambaran bahwa masih banyak yang belum memahami arti CSR.
Dalam diskusi, wakil lembaga pemerintah mengatakan CSR adalah bentuk setoran perusahaan sehingga harus diatur lembaga pemerintah yang berhak menerima “setoran” itu.
Di Indonesia, pemahaman CSR memang sudah salah kaprah. Saya mengikuti perkembangan ini relatif sejak awal. Saat saya menjadi salah satu saksi ahli pada uji materi yang diajukan Kadin kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 74 Undang-Undang PT No 40 Tahun 2007.
Akhirnya pengajuan itu ditolak, sesuai dugaan kami yang telah mendeteksi banyaknya konflik kepentingan. Akibatnya, perkembangan pemahaman tentang kewajiban tanggung jawab sosial ini menjadi seperti bola liar. CSR lantas menjadi “sumber bancakan” bagi siapa saja yang merasa mesti mendapat bagian.
Oleh karena itu, saya merasa perlu membagi-bagi pengetahuan mengenai karakteristik CSR. Menurut ISO 26000, yang merupakan panduan tanggung jawab sosial bagi seluruh jenis organisasi, yang disepakati 90 negara, karakteristik utama tanggung jawab sosial adalah 1) kemauan organisasi untuk mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan; dan 2) kemauan organisasi untuk bertanggung jawab atas dampak yang timbul akibat keputusan-keputusan yang diambil dan kegiatan organisasinya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Dengan demikian jika perusahaan dalam proses memutuskan hanya memberikan “setoran” kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, maka perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak lanjutannya. Misalnya, perusahaan akan “aman” dalam jangka pendek, karena merasa sudah memberikan “kewajibannya” kepada pemerintah. Namun, bagaimana dengan masyarakat sekitar?
Mereka tidak peduli dengan biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan, yang mereka pedulikan adalah apa yang mereka rasakan dan lihat. Mereka hanya merasakan diri tetap miskin, jalan di daerah mereka rusak, tanah gersang dan berdebu, kesulitan air, tidak punya modal untuk bertani atau berdagang, tengkulak menguasai perdagangan dan bisnis rakyat, dst. Akhirnya, masyarakat memprotes perusahaan, dan demonstrasi itu mengganggu operasional bisnis.
Oleh karena pola pikir dan kebijakan perusahaan bahwa CSR sama dengan setoran, perusahaan akan memberi uang lagi ke masyarakat, tapi itu hanya membuat mereka “diam sementara”, persoalan utama tidak teratasi. Hal ini tentu merugikan perusahaan karena timbulnya lingkaran setan.
Persoalannya, belum tentu perusahaan bisa memaksa pemerintah menjalankan kewajibannya misalnya membangun infrastruktur dengan uang “setoran” tadi. Jelaslah yang paling dirugikan selain perusahaan tentu masyarakat.
Jadi jelas, CSR bukanlah setoran kepada siapa pun, karena pada hakikatnya perusahaan sudah menyetor ke pemerintah dalam bentuk pajak. CSR adalah kegiatan yang turut mensejahterakan masyarakat, antara lain dengan memberi “kail” bukan “ikan”. Sementara itu, keputusan tentang prioritas kegiatan bisa disinkronkan dengan program pembangunan daerah yang menjadi tugas pemerintah.
Karakteristik CSR lainnya menurut Crane, Matten, Spence (2008) adalah sukarela; menanggung biaya atau mengelola eksternalitas perusahaan; berorientasi pada pemangku kepentingan; mensinkronkan antara tanggung jawab sosial dan ekonomi; terkandung dalam nilai-nilai (budaya) yang dipraktikkan dalam perusahaan; dan melampaui kedermawanan (filantrofi).
Jadi, CSR adalah sukarela, dengan persyaratan bahwa perusahaan harus sudah mematuhi hukum dan peraturan sektoral yang terkait usahanya.
Menurut ISO 26000 lagi, tindakan kepatuhan pada hukum merupakan tindakan tanggung jawab sosial bagi organisasi. Jadi, sebenarnya UU yang mewajibkan tanggung jawab sosial tidak sesuai dengan karakteristik CSR.
Kegiatan CSR sebaiknya diarahkan untuk mengatasi persoalan sosial, selain ekonomi. Misalnya, jika pendirian pabrik menimbulkan pelacuran dan konsumerisme, perusahaan harus mempunyai kebijakan tegas, misalnya memecat karyawan jika kedapatan melanggar aturan norma dan moral. Hal tersebut berkaitan dengan prinsip bertanggung jawab sosial dalam budaya perusahan dan mempraktikkan prinsip tersebut dalam “kehidupan” sehari-hari perusahaan.
Jadi, CSR bukan setoran perusahaan kepada siapa pun, melainkan dimulai dengan kepatuhan perusahaan kepada hukum dan peraturan, dilanjutkan dengan komitmen meningkatkan kualitas hidup para karyawan, keluarga karyawan, serta masyarakat, pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
*Penulis adalah Direktur Program Magister Manajemen Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Artikel ini dapat pula dibaca di: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/karakteristik-tanggung-jawab-sosial-perusahaan/
manfaat pemetaan pemangku kepentingan
Manfaat Pemetaan Pemangku Kepentingan
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
Pemetaan pemangku kepentingan di samping bermanfaat untuk menyusun strategi CSR juga berguna untuk mengatasi berbagai persoalan perusahaan.
Pada edisi sebelumnya, dijelaskan bahwa ada beberapa jenis pemangku kepentingan yang sebaiknya diidentifikasi oleh perusahaan untuk menyusun strategi tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR). Pemetaan pemangku kepentingan dapat digunakan untuk beberapa tujuan.
Jika perusahaan menghadapi suatu persoalan, pemetaan pemangku kepentingan dapat dilakukan untuk menyusun strategi mengatasi persoalan tersebut. Di lain pihak, pemetaan pemangku kepentingan juga dapat digunakan untuk perencanaan strategis jangka panjang.
Salah satu jenis kelompok pemangku kepentingan pada edisi sebelumnya, menurut Ruth Murray-Webster dan Peter Simon (2006) terdiri dari (1) penyelamat, (2) teman, (3) penyabot, (4) pengganggu, (5) raksasa tidur, (6) kenalan, (7) bom waktu, dan (8) tali jebakan. Artikel ini akan memberikan contoh suatu perusahaan yang mengalami persoalan dengan pemangku kepentingannya.
Menghadapi Tuntutan
Ada sebuah perusahaan eksplorasi di laut lepas di daerah Indonesia Timur yang pada suatu saat menghadapi tuntutan dari seseorang yang mengklaim bahwa tanah tempat kantor perusahaan tersebut berdiri adalah tanah milik leluhurnya. Di areal tanah yang dituntut oleh orang tersebut terdapat juga dua perusahaan lain yang juga mereka tuntut.
Orang tersebut berhasil menghasut beberapa kelompok masyarakat di daerah lain untuk turut mendukungnya melancarkan tuntutan. Persoalan ini diketahui oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, yang kemudian mengeluarkan kritik-kritik pedas melalui pemberitaan dalam portal lamannya. Semenjak pemberitaan itu, perusahaan menghadapi protes dari berbagai komunitas sekitar.
Saat pertama kali menghadapi persoalan tersebut tentunya perusahaan sempat panik. Akan tetapi kemudian sikap yang diambil perusahaan adalah menghubungi pihak berwenang, yakni Badan Pertanahan Daerah.
Beruntung, selama ini perusahaan berhubungan baik dengan para pemangku kepentingan yang punya legitimasi dan kekuasaan, seperti pemerintah lokal dan para ketua suku. Saat ada persoalan seperti ini, perusahaan menuai manfaat.
Dalam kasus ini, pihak Badan Pertanahan merupakan pemangku kepentingan yang sangat relevan membantu perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang terkena tuntutan pun bersepakat bekerja sama intensif dengan lembaga pemerintah setempat untuk menentukan strategi menyelesaikan persoalan dan bernegosiasi dengan komunitas.
Badan Pertanahan ternyata punya strategi cukup ampuh. Dia mensyaratkan bahwa semua pihak yang mengklaim memiliki tanah tersebut harus bernegosiasi di tempat. Jadi proses negosiasi selalu diselenggarakan di tanah yang diklaim tersebut.
Perusahaan-perusahaan tersebut menyiapkan suatu tempat pertemuan yang layak sebagai lokasi berlangsungnya negosiasi-negosiasi. Aturan yang ditetapkan adalah siapa yang tidak hadir saat negosiasi dilangsungkan, tidak berhak menuntut. Selain itu, jika klaim tidak disertai dengan bukti maka harus memperoleh dukungan dari beberapa komunitas lokal tertentu yang disepakati bersama.
Konsistensi CSR
Hal yang terjadi kemudian adalah komunitas di daerah lain yang mengklaim tanah itu milik mereka tidak berani datang karena takut pada komunitas lokal yang sebenarnya memang pemilik sah tempat tersebut.
Para perusahaan yang dituntut, meski terpaksa menghentikan operasi perusahaan, berpendirian untuk tetap berkomitmen melanjutkan program-program pengembangan komunitas yang merupakan bagian dari program CSR mereka.
Oleh karena perusahaan menyadari persoalan tersebut tidak perlu ditanggung oleh para penerima manfaat, mereka tetap menjalankan CSR dan memperoleh banyak simpati dari komunitas atas konsistensinya.
Meski memakan waktu cukup lama, akhirnya negosiasi berjalan sukses, dan perusahaan-perusahaan yang bersangkutan memenuhi kewajibannya, serta komunitas setempat puas dengan penggantian dan kesepakatan yang dihasilkan dari negosiasi panjang mereka.
Pemetaan
Dalam contoh kasus di atas, dapat diidentifikasi siapa pemangku kepentingan yang berkaitan dengan isu tersebut. Jika dikaitkan dengan artikel sebelumnya, ini adalah pemetaannya: (1) penyelamat adalah pemerintah lokal dari Badan Pertanahan, (2) teman adalah perusahaan lain yang beroperasi di tanah yang berdekatan yang menghadapi persoalan sama, (3) penyabot adalah pihak yang menuntut perusahaan, (4) pengganggu adalah organisasi LSM asing yang membuat pemberitaan yang belum terbukti kebenarannya, (5) raksasa tidur adalah para kepala suku dan pemerintah setempat seperti bupati atau gubernur, (6) kenalan adalah komunitas sekitar yang merasakan CSR perusahaan maupun yang mendapat manfaat atas keberadaan perusahaan, (7) bom waktu adalah preman/provokator, dan (8) tali jebakan adalah pesaing perusahaan yang akan diuntungkan jika perusahaan tidak berada di sana lagi.
Dengan mengetahui pemetaan tersebut, perusahaan dapat fokus pada penyelamat, teman, dan kenalan. Sementara itu, yang harus dihindari adalah pengganggu, bom waktu, dan tali jebakan. Mereka ini jangan terlalu dihiraukan karena dapat menyebabkan energi perusahaan terkuras habis.
Dalam banyak kejadian, sering kali perusahaan terlalu fokus kepada pemangku kepentingan yang seharusnya dihindari. Penyebab utamanya biasanya adalah reaksi spontan karena perusahaan ingin memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang menuntut atau melaksanakan kampanye negatif bahwa mereka tidak bersalah.
Hal ini adalah langkah salah yang dapat merugikan perusahaan karena kehilangan waktu, tenaga, emosi, bahkan biaya. Seperti apa yang dikatakan Alan Atkisson (2008) dalam teori pemangku kepentingannya, yakni Amoeba, nomor satu yang harus dihindari adalah pemangku kepentingan yang negatif.
Dengan memenuhi kepentingan dan kebutuhan para pemangku kepentingan, perusahaan juga melakukan CSR. Karena pemangku kepentingan menurut ISO 26000 adalah lingkup pengaruh (sphere of influence) yang merasakan dampak dari kegiatan perusahaan.
*Penulis adalah Direktur Program Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Artikel ini dapat pula dibaca di: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/manfaat-pemetaan-pemangku-kepentingan/
Tingkatkan Harga saham melalui CSR
Tingkatkan Harga Saham Melalui CSR
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
Secara logika keuangan, sudah banyak bukti yang menunjukkan CSR dapat meningkatkan keuntungan perusahaan.
Banyak pelaku dan pemerhati tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) belum jelas tentang hubungan antara melakukan CSR dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam hal peningkatan harga saham.
Blackburn (2007) memperkenalkan show me the money model untuk mengetahui logika di balik keuntungan berinvestasi pada CSR. Dalam model ini digambarkan bagaimana perusahaan dapat meningkatkan reputasi, penjualan, dan dapat menurunkan biaya dengan melakukan program keberlanjutan (sustainability) yang sebetulnya merupakan tujuan akhir CSR.
Menurut konsep manajemen keuangan, tujuan perusahaan didirikan adalah untuk meningkatkan nilai para pemegang saham dan pemangku kepentingannya. Apakah yang menjadi indikator peningkatan nilai para pemegang saham ini? Jawabnya adalah peningkatan harga saham.
Tim CSR harus mampu meyakinkan manajemen bahwa harga saham dapat meningkat bila manajemen menyetujui program yang menggunakan keuntungan perusahaan untuk investasi, misalnya untuk membeli mesin pengolah limbah atau membeli mesin dengan teknologi hemat energi. Hal ini adalah tugas paling menantang yang dihadapi tim CSR.
“Green Ranking”
Naik-turunnya harga saham sebenarnya ditentukan oleh jumlah permintaan dan penawaran. Semakin banyak yang berminat membeli saham perusahaan, harga saham akan meningkat. Oleh sebab itu, manajemen harus mempelajari apa saja yang menyebabkan para investor ingin membeli saham sebuah perusahaan.
Sebelum dua kejadian besar, yakni Konferensi Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro (1992) dan peluncuran panduan pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting) oleh Global Reporting Initiative (GRI) yang dipergunakan oleh lebih dari 3.000 organisasi, biasanya investor membeli saham cukup melalui analisis atas kinerja keuangan perusahaan.
Namun setelah banyak pelaporan keberlanjutan muncul, ditambah dengan kehancuran bisnis Lehman Brothers tahun 2008, kini para investor (individu maupun institusi) mulai menggunakan kinerja CSR atau keberlanjutan perusahaan untuk menentukan saham mana yang akan mereka beli.
Tahun 2009 Newsweek mengeluarkan indeks green ranking. Indeks ini menyajikan peringkat perusahaan yang memperhatikan jejak karbon, termasuk emisi gas rumah kaca dan penggunaan air, manajemen pengelolaan lingkungan serta pengungkapan (pelaporan keberlanjutan). Kedua hal tersebut merupakan beberapa referensi yang digunakan para analis saham (investor) dalam memilih saham mana yang akan dibeli.
Kesadaran Investor
Para investor mulai sadar bahwa perubahan iklim mengakibatkan air, tanah, mineral, dan bahan bakar fosil yang terbatas jumlahnya menjadi kian mahal. Oleh karena itu, mereka mulai menganalisis bagaimana perusahaan mengatasi hal ini dan bahkan tetap dapat menghasilkan keuntungan dari bisnis mereka.
Terdapat tiga hal utama yang mereka analisis, yakni 1) reputasi perusahaan dalam melakukan CSR, 2) aspek peningkatan penjualan, yakni keunggulan bersaing, dan 3) penghematan biaya melalui peningkatan produktivitas, pengurangan beban operasional dan interupsi bisnis, penurunan biaya rantai pemasok, penurunan biaya modal, serta biaya konsekuensi hukum.
Keunggulan bersaing dapat dicapai melalui inovasi. Misalnya, perusahaan menggunakan kemasan ramah lingkungan dan memproduksi makanan rendah kolesterol, menciptakan kelompok konsumen baru dengan cara memampukan masyarakat mengatasi kemiskinan, yakni penciptaan lapangan pekerjaan dan membuat masyarakat menjadi pemilik usaha yang dibangun, misalkan melalui pembangunan koperasi.
Melalui program CSR tersebut, perusahaan dapat mempunyai hubungan baik dengan masyarakat sekitar dan pemerintah lokal. Jika kepemilikan bisnis (usaha kecil dan menengah) tidak berpusat pada beberapa orang, tetapi oleh masyarakat (melalui koperasi), keberadaan perusahaan akan mereka lindungi.
Karena masyarakat yang dibantu tidak akan melupakan jasa perusahaan dan mereka tidak ingin ada konflik di daerah mereka agar keberlanjutan bisnisnya terjamin. Hal ini dapat menghemat biaya operasional perusahaan dan biaya interupsi bisnis.
Pengelolaan Risiko
Penghematan biaya juga dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas melalui program keselamatan kerja; program pendidikan karyawan untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan dan keterampilan; membina hubungan baik dengan karyawan; penghematan listrik; serta pengelolaan risiko bisnis.
Hal ini dapat membangun kebanggaan karyawan, meningkatkan loyalitas, dan mempermudah perusahaan merekrut karyawan baru yang mempunyai kepedulian terhadap keberlanjutan.
Penurunan biaya rantai pemasok dapat dilakukan dengan mengajarkan para pemasok memproduksi bahan baku sesuai standar. Hal ini dapat menjamin keberadaan pasokan yang terjamin mutunya. Ini dilakukan dengan membayar pemasok tepat waktu sehingga dapat membangun kepercayaan mereka dan tidak akan terjadi boikot atas pasokan bahan baku.
Biaya modal dapat diturunkan dengan menjalankan bisnis yang inovatif yang mengatasi persoalan perubahan iklim. Saat ini sangat banyak lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman dengan biaya rendah kepada perusahaan-perusahaan seperti ini. Misalnya, mereka berpatokan pada green ranking, panduan principle for responsible investment (PRI) yang dikeluarkan PBB dan dipakai oleh 87 persen dari seluruh manajer investasi di dunia yang turut menyetujui kesepakatan ini.
Biaya konsekuensi hukum dapat diturunkan jika perusahaan menjalankan aturan-aturan yang berlaku, misalnya proper, amdal, dan Undang-Undang (UU) No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Pasal 108 dan 109 yang mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, serta PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara Pasal 106 sd 109.
Contoh Sukses
Banyak contoh sukses kegiatan CSR yang dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Misalnya Amanco, sebuah perusahaan di Brasil yang memproduksi plastik PVC menginvestasikan US$ 100.000 untuk membantu program irigasi di 300.000 lahan pertanian kecil di Guatemala, melalui pendidikan dan pelatihan.
Melalui kegiatan ini, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas petani sehingga mereka mampu menjadi konsumen. Secara total penjualan perusahaan ini di tahun 2008 menjadi US$ 4,1 juta, dibanding tahun 2006 yang hanya US$ 800.000.
Perusahaan DQY Ecological yang menghasilkan telur ayam di China mempunyai reputasi atas kepedulian terhadap lingkungan dan keselamatan kerja sehingga memperoleh dana Global Environment Fund (GEF). Lembaga ini mengutamakan investasi pada teknologi bebas polusi dan hutan lestari, serta International Finance Corps (IFC).
Dengan sokongan dana tersebut, perusahaan dapat meningkatkan penjualan dari US$ 600.000 tahun 2002 menjadi US$ 6,7 juta di tahun 2006, padahal saat itu ada wabah SARS dan harga telur yang dijual lebih mahal dari harga telur biasa. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan konsumen pada produk perusahaan tersebut yang sudah tertanam.
Dengan demikian, secara logika keuangan sudah banyak bukti yang menunjukkan CSR dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dan pada akhirnya meningkatkan harga saham perusahaan. Jadi CSR sekali lagi adalah investasi jangka panjang yang menguntungkan, bukan sekadar untuk promosi dan produk humas.
*Penulis adalah Direktur Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Artikel ini dapat pula dibaca di: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/tingkatkan-harga-saham-melalui-csr/
Tata kelola dalam konteks ISO 26000
Tata Kelola dalam Konteks ISO 26000
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
ISO 26000 adalah pedoman, bukan standardisasi pelaksanaan tanggung jawab sosial (TJS) untuk semua jenis organisasi, baik yang mencari keuntungan maupun yang tidak.
Dalam ISO 26000 dijelaskan adanya tujuh subjek utama ruang lingkup TJS, yakni tata kelola perusahaan, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, lingkungan hidup, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta pengembangan dan pelibatan komunitas.
Akan tetapi, tata kelola dalam diagram ISO 26000 merupakan subjek utama yang mengatur pelaksanaan subjek lainnya, sehingga kedudukan tata kelola menjadi sangat penting karena harus dilaksanakan organisasi dan secara bersamaan merupakan sistem yang mengatur bagaimana organisasi bertanggung jawab sosial terhadap subjek utama lainnya.
Artikel ini tidak membahas tata kelola perusahaan, tetapi tata kelola dalam organisasi nirlaba yang merupakan bagian dari organisasi sektor ketiga (OST). Hal ini penting karena di Indonesia sudah terdapat kode etik pelaksanaan tata kelola perusahaan (Code of Good Corporate Governance/GCG), sedangkan untuk OST belum ada. Pernah, pada awal 2000, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) memprakarsai pembuatan kode etik tata kelola untuk LSM, namun kurang disosialisasikan dan akhirnya menghilang dari peredaran.
Menurut ISO 26000, tata kelola adalah suatu sistem yang mengatur bagaimana keputusan dibuat dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi.
Organisasi merupakan kelompok individu yang membentuk suatu sistem sosial. Agar organisasi dapat hidup dan berkelanjutan, harus merespons perubahan yang terjadi dalam lingkungan tempatnya berada. Respons dihasilkan kultur dalam organisasi tersebut, yakni nilai dan norma-norma para individunya.
Nilai dan Norma
Nilai merupakan apa yang dianggap penting, sedangkan norma menentukan sikap apa yang dianggap benar. Dengan demikian, perumusan tata kelola organisasi yang sangat penting adalah menentukan nilai etis dan norma-norma. Menurut ISO 26000, nilai-nilai etis yang harus dianut adalah kejujuran, kesetaraan dan integritas, dan sikap yang mencerminkan niai-nilai tersebut adalah yang dianggap pantas.
Selain itu, terdapat prinsip-prinsip yang harus dianut dalam pelaksanaan tata kelola (governance). Dalam pedoman tata kelola perusahaan di Indonesia terdapat prinsip: transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab (responsibility), independensi, kewajaran, dan kesetaraan. Sementara itu, pada prinsip-prinsip governance dalam tata kelola publik (GPG = good public governance) terdapat prinsip demokrasi, akuntabilitas, budaya hukum, kewajaran, dan kesetaraan. Dengan demikian, dalam tata kelola organisasi, minimal terdapat dua prinsip, yakni akuntabilitas dan transparansi.
Akuntabilitas lebih luas dari tanggung jawab. Akuntabilitas menurut Finer (1940) adalah bagaimana organisasi merespons permintaan dari pihak luar untuk membuat pertanggungjawaban. Sementara itu, tanggung jawab menurut Friedrich (1941) berkaitan dengan moralitas dan etika profesional dari individu dalam mempertanggungjawabkan tindakannya. Jadi, akuntabilitas mencakup tanggung jawab.
Jika individu dalam organisasi secara moral tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya, secara organisasi otomatis tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil terhadap pihak luar. Sementara itu, transparansi bukanlah berarti buka-bukaan, tetapi penyediaan informasi yang relevan bagi pihak-pihak yang relevan.
Transparansi OST
Dalam suatu penelitian di Indonesia terhadap seratus organisasi sektor ketiga atau OST (LSM, perkumpulan, yayasan, ormas, dan serikat pekerja), diketahui bahwa persoalan utama tata kelola OST adalah transparansi dan akuntabilitas terhadap para konstituennya (pemangku kepentingan yang utama). Persoalan yang berhubungan adalah korupsi yang banyak dilakukan LSM yang tidak mempertanggungjawabkan laporan keuangannya secara jelas.
Belum ada kasus persoalan korupsi dalam LSM yang diusut secara tuntas. Kebanyakan mereka menjadi watch-dog (pengawas) bagi perusahaan maupun lembaga pemerintahan atas korupsi, tetapi belum ada yang mengawasi korupsi mereka. Selain itu, banyak juga aktivitas LSM yang menjalankan propaganda LSM asing yang dapat mengganggu ketenteraman masyarakat. Hal ini menunjukkan mereka tidak mempunyai akuntabilitas terhadap publik. Dalam konteks ISO 26000, LSM sebenarnya juga harus bertanggung jawab atas dampak dari aktivitas serta keputusan yang dilakukan dan diambil anggota organisasinya.
Kalau perusahaan jelas harus akuntabel terhadap pemilik, alasannya, karena mereka yang menyediakan modal utama. Persoalannya LSM sebagai bagian dari OST harus bertanggung jawab kepada siapa? Hakikatnya OST didirikan atas dasar suatu visi dan misi yang akan dicapai. Untuk itu, dalam menjalankan aktivitas dan pengambilan keputusan harus merujuk pada visi dan misi organisasi. Pertanggungjawaban adalah terhadap konstituen (pemangku kepentingan utama), dan publik.
Modal utama LSM pada awalnya berasal dari pendiri dan selanjutnya dari lembaga donor, baik asing maupun lokal. Oleh karena dana yang diperoleh dari lembaga donor biasanya berupa hibah, LSM yang kebanyakan berbadan hukum yayasan harus bertanggung jawab kepada publik. Oleh sebab itu, dalam kerangka UU No 28/2004 tentang Perubahan UU No16/2001 tentang Yayasan, organisasi yang memperoleh dana hibah di atas Rp 500 juta wajib mengumumkan ke publik laporan keuangannya melalui surat kabar berbahasa Indonesia.
Mekanisme Informal
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa tata kelola dalam OST berkaitan dengan pemeliharaan hubungan antara pelaku organisasi dan para konstituennya. Hal ini dalam tata kelola harus diatur dalam penentuan struktur kepengurusan, sehingga terdapat keterwakilan pemangku kepentingan. Selain itu, terdapat aspek lain tata kelola OST yakni peran dan tanggung jawab anggota pengurus; proses kegiatan dan pengambilan keputusan, serta hubungan antara pengurus dan manajer dalam organisasi. Keempat aspek tersebut harus dijalankan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Dalam ISO 26000 dikatakan bahwa tata kelola dapat berbentuk formal, yakni yang mempunyai struktur kepengurusan, dapat pula bersifat mekanisme informal. Dari hasil penelitian ditemukan mekanisme informal tata kelola dalam banyak OST informal adalah melalui pengambilan keputusan oleh seorang yang mempunyai karisma, yang menjadi kekuatan “mengemudikan” jalannya organisasi (driving force). Pengambil keputusan tersebut biasanya tidak terdapat di dalam struktur kepengurusan, tetapi sangat memengaruhi penentuan aktivitas organisasi.
Dari uraian tentang mekanisme tata kelola tersebut (Radyati, 2010), tata kelola dapat dijadikan strategi organisasi melalui penentuan keterwakilan konstituen dalam kepengurusan, yakni penentuan board composition (komposisi kepengurusan), sehingga organisasi dapat tetap mempertahankan dan memperoleh sumber modalnya. Misalkan dengan menempatkan orang-orang yang mempunyai jaringan luas terhadap penyedia sumber dana. Agar dapat bersaing dengan organisasi lain, perlu diperjelas board roles and responsibilities (peran dan tanggung jawab anggota pengurus).
Sementara itu, profesionalisme aktivitas manajerial dan proses pengambilan keputusan yang demokratis harus diatur dalam SOP (standard operating procedures) untuk para anggota pengurus, yang merupakan bagian dari board process (proses kepengurusan). Terakhir, sistem pengawasan terhadap manajer yang diserahi tanggung jawab pelaksanaan kegiatan organisasi harus diatur yang jelas, sehingga manajer tidak bertindak untuk kepentingan sendiri, tetapi sesuai dengan amanah yang ditetapkan dalam visi dan misi organisasi.
*Penulis adalah Direktur Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Artikel ini dapat pula dibaca di: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/tata-kelola-dalam-konteks-iso-26000/
Kebahagian dalam Tanggung Jawab Sosial
Kebahagiaan dalam Tanggung Jawab Sosial
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
Keberhasilan suatu strategi atau program CSR juga harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan para penerima program, termasuk yang menjalankannya.
Dalam konteks keberlanjutan, Alan Atkisson memperkenalkan ukuran keberhasilan suatu strategi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan menggunakan kompas, yang biasanya terdiri dari utara, barat, timur, dan selatan. Tetapi, oleh Atkisson, kompas ini dimodifikasi menjadi Nature, Wellbeing, Economy, dan Society, atau lingkungan hidup, kebahagiaan, ekonomi, dan masyarakat.
Aspek wellbeing (kebahagiaan) mulai menjadi perhatian dunia sejak Kerajaan Buthan pada 2005 menggunakan Indeks Kebahagiaan (Gross National Happiness) untuk menggambarkan kesejahteraan individu dan sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu daerah. Jadi, keberhasilan suatu daerah tidak hanya dilihat dari gross national product (GNP), tetapi juga dari keseimbangan perkembangan materi dan spiritual, perlindungan lingkungan hidup, dan kebudayaan. Sebagai contoh, pemerintah negara ini melarang merokok di seluruh negeri dan melarang pembelian plastik, serta mewajibkan setiap penduduk menanam minimal 10 pohon setiap tahun.
Indikator Subjektif
Ukuran kebahagiaan versi Buthan ini berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, pemeliharaan dan penguatan budaya, pelestarian lingkungan, serta tata kelola yang baik. Keberhasilan negara yang selama ini dikaitkan dengan akuntansi, seperti pendapatan, produksi (Produk Nasional Bruto/PNB), pembelian, utang, ternyata kesemuanya tidak dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan, ketidaksetaraan, pendidikan, kohesi sosial, ketenteraman, maupun kesehatan.
Daniel Kahneman, pemenang hadiah nobel karena prestasinya menyatukan ilmu psikologi dengan ekonomi, dalam bukunya Wellbeing menyarankan penggunaan indikator subjektif untuk mengukur kebahagiaan sebagai dasar proses penetapan kebijakan bagi pemerintah. Sementara itu, seorang ekonom terkenal di Inggris, Richard Layard, menyatakan kebahagiaan harus menjadi tujuan utama kebijakan pemerintah, seperti layaknya target PNB.
Di Inggris sejak 2010, Perdana Menteri David Cameron memutuskan menggunakan indeks kebahagiaan dalam menentukan kebijakan pemerintah. Sebanyak 81 persen penduduknya setuju dengan ide bahwa target utama pemerintah seharusnya pencapaian kebahagiaan yang sebesar-besarnya, bukannya kekayaan yang sebesar-besarnya. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memperkenalkan indeks kebahagiaan yang diukur dari kohesi sosial, kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan, kesehatan, kebebasan berpolitik, dan rendahnya tingkat korupsi.
Mentalitas Inferior
Di Indonesia, kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) alih-alih menimbulkan kebahagiaan ternyata justru menimbulkan banyak persoalan, seperti kecemburuan sosial yang dapat merusak kohesi sosial dengan menciptakan mentalitas inferior (minder) dan mentalitas pengemis. Keresahan masyarakat di Indonesia, misalnya yang ditimbulkan oleh konflik antarpartai politik, konflik dalam pemilihan pemerintah daerah, dan konflik geng motor dapat mengurangi kebahagiaan masyarakat dan individu.
Demikian juga dengan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang memberikan pinjaman lunak kepada usaha kecil dan menengah. Pinjaman semacam ini sebenarnya dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Misalnya, pinjaman lunak dan pendampingan berupa pendidikan kewirausahaan dan manajemen yang diberikan kepada 12 pembuat dan pedagang keripik. Dari 12 produsen dan pedagang keripik yang didampingi tersebut ternyata hanya tiga produsen dan pedagang saja yang sukses. Dengan begitu, kesuksesan tiga orang tersebut dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi pedagang keripik lain yang tidak sukses.
Pentingnya Koperasi
Ceritanya akan berbeda bila pinjaman misalnya diberikan kepada semua pedagang tersebut dan kemudian mereka dibina untuk membentuk koperasi. Bisnis keripik akan dimiliki semua anggota koperasi tersebut sehingga semua anggota akan melindungi bisnis keripik tersebut agar sukses, karena mereka semua adalah pemilik, dan kesuksesan atau kegagalan bisnis akan mereka tanggung bersama. Faktor inilah yang dapat menciptakan kerekatan sosial di masyarakat.
Keberhasilan suatu strategi atau program CSR juga harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan para penerima program, termasuk yang menjalankannya. Contohnya adalah adanya program pemberdayaan wanita untuk kewirausahaan yang sukses di suatu daerah. Program ini ternyata menimbulkan konflik dalam keluarga, karena suami merasa minder dengan keberhasilan ekonomi istrinya. Kondisi semacam ini menunjukkan program CSR tersebut sejatinya tidak berhasil karena kebahagiaan tidak terwujud sepenuhnya bagi mereka yang menjalankan program.
Di dalam konteks ISO 26000, kata wellbeing dicantumkan enam kali untuk lima subjek tanggung jawab sosial, yaitu (1) hak asasi manusia (HAM), yakni hak atas ekonomi, sosial, dan budaya yang layak; (2) praktik ketenagakerjaan, di mana organisasi diharapkan memperhatikan isu kondisi tempat kerja, perlindungan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja; (3) melalui pengembangan tenaga kerja khususnya dengan cara memberi pelatihan di tempat kerja; (4) perlindungan terhadap lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan restorasi habitat, di mana perusahaan harus membina ekosistem yang sehat; serta (5) perlindungan terhadap konsumen di mana organisasi harus memelihara lingkungan untuk kesejahteraan generasi mendatang.
Salah satu tujuan melakukan CSR adalah mengurangi interupsi operasi perusahaan (business interruption). Menurut penelitian di Universitas Harvard, jika perusahaan memberi kesempatan kepada para karyawannya untuk belajar dan bertumbuh dalam karier, organisasi akan mengalami kemajuan (Spreitzer & Porath, 2012). Hasil penelitian menunjukkan karyawan yang bahagia ternyata lebih produktif dibandingkan dengan karyawan yang tidak atau kurang bahagia. Berkat karyawan yang bahagia, kinerja perusahaan dapat meningkat 16 persen, dan 32 persen lebih karyawan mempunyai komitmen pada perusahaan, serta 46 persen lebih puas dengan pekerjaan mereka.
Menurut Spreitzer dan Porath, kebahagiaan karyawan dapat diukur dari sejauh mana mereka berkembang (thriving), di mana mereka tidak hanya merasa puas dan produktif, tetapi juga terlibat dalam mewujudkan masa depan diri mereka dan perusahaan.
Terdapat dua komponen penting dalam thriving, yakni vitalitas dan pembelajaran. Vitalitas adalah perasaan bersemangat, hidup, dan gembira, sedangkan pembelajaran diperoleh karena karyawan memperoleh ilmu dan keahlian yang baru. Karyawan yang mempunyai vitalitas akan menularkan energi positif kepada karyawan lainnya. Dengan demikian mewujudkan kebahagiaan melalui tanggung jawab sosial merupakan tanggung jawab masing-masing organisasi, perusahaan, dan pemerintah untuk mewujudkannya.
*Penulis adalah Direktur Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Inovasi dalam Tanggung Jawab Sosial
Inovasi dalam Tanggung Jawab Sosial
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
Inovasi dalam CSR sangat penting. Tanpa inovasi, dana yang dipergunakan untuk CSR tidak akan bermanfaat.
Perusahaan perlu memiliki ide kreatif saat mendesain program atau strategi tanggung jawab sosial (CSR)-nya. Apabila ide kreatif tersebut diwujudkan menjadi kenyataan, itulah yang disebut inovasi.
Inovasi dalam CSR sangat penting. Tanpa inovasi, dana yang dipergunakan untuk CSR hanya akan terbuang tanpa manfaat. Tanpa ide kreatif, citra perusahaan hanya akan meningkat dalam jangka pendek, sedangkan melalui inovasi, kegiatan CSR akan bermanfaat karena dapat menciptakan kemandirian komunitas target, mengangkat citra perusahaan dalam jangka panjang, dan menghasilkan keuntungan finansial bagi perusahaan.
Tahap Inovasi
Terdapat beberapa tahap dan cara melakukan inovasi. Bagi perusahaan yang akan membuka bisnis atau pabrik di daerah baru, inovasi bisa dilakukan pada tahap persiapan. Pada perusahaan yang sudah berdiri, inovasi bisa dilakukan saat memasuki tahap keberlanjutan (continuation stage).
Desain program atau strategi CSR harus diarahkan pada pemangku kepentingan, baik di dalam maupun luar perusahaan. Jadi, CSR juga harus dilakukan perusahaan untuk para karyawan selain untuk pihak luar, seperti komunitas, pemasok, dan pemerintah.
Pada tahap persiapan, perusahaan dapat berinovasi dengan mempersiapkan masyarakat sekitar agar dapat menjadi pendukung keberadaan perusahaan. Misalnya, dengan menyelenggarakan pelatihan bagi komunitas terdekat untuk menciptakan bisnis jasa yang berguna bagi perusahaan.
Perusahaan, misalnya, bisa memberikan pelatihan bagi masyarakat yang ingin menjadi pengusaha penyedia jasa layanan kebersihan (cleaning service). Perusahaan juga dapat mengajari petani cara bertanam tanaman organik sehingga mereka dapat menjadi pemasok sayur bagi perusahaan.
Perusahaan juga dapat menyelenggarakan pendidikan manajemen jasa (hospitality) sehingga bisnis jasa, seperti rumah makan, transportasi, dan toko, di sekitar perusahaan bisa lebih profesional. Hal ini akan bermanfaat bagi karyawan, karena mereka akan mendapatkan layanan terbaik jika berbelanja di restoran atau toko terdekat.
Jika perusahaan sudah cukup lama melakukan CSR, mengikuti matriks inovasi adalah salah satu metode yang bisa dilakukan. Matriks ini pertama kali diperkenalkan ahli matematika Igor Ansoff. Tujuannya membantu perusahaan menentukan alokasi dana untuk kebijakan pengembangan bisnis.
Tiga Kategori
Berdasarkan nilai investasi, inovasi dapat dilakukan dalam tiga kategori, yakni optimalisasi, ekspansi, dan transformasi. Dalam konteks inovasi mendesain strategi CSR, perusahaan dapat 1) mengoptimalkan program CSR yang telah ada, 2) mengulang program/strategi CSR yang telah berhasil ke anak perusahaan atau komunitas lain, 3) membuat program CSR yang sama sekali baru yang berkelanjutan, dalam arti perusahaan tidak membuat komunitas tergantung pada perusahaan dan dapat menyelesaikan persoalan sosial yang dihadapi pemangku kepentingan paling relevan.
Pengoptimalan program CSR pengembangan usaha kecil menengah (UKM) misalnya, bisa dengan cara melatih para binaan agar dapat mengkomersialkan produk atau jasa mereka. Misalnya, pelatihan membuat kemasan makanan yang lebih komersial, yang disertai catatan komposisi (ingredient), nomor izin BPOM, dan tanggal kedaluwarsa.
Perusahaan selanjutnya dapat membuatkan akses ke pasar. Misalnya, membangun infrastruktur jalan, pasar tradisional, dan tempat pameran. Terakhir, yang paling penting adalah membiayai binaan mengurus hak kekayaan intelektual (HAKI) yang umumnya cukup memakan waktu dan biaya.
Inovasi tahap ekspansi bisa dengan mereplikasi metode yang telah berhasil dilakukan ke komunitas lain. Misalnya, replikasi program peningkatan kemampuan komunitas (pelatihan, pendidikan, pemagangan); pendampingan (pemberian modal awal, konsultasi bisnis, monitor, dan evaluasi keberhasilan bisnis); komersialisasi; atau program pengurusan HAKI.
Transformasional
Inovasi transformasional CSR contohnya adalah membantu komunitas mendirikan bisnis sosial dengan kepemilikan kolektif (community enterprise). Di sini perusahaan harus bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang kompeten untuk menjadi fasilitator bagi komunitas binaan guna mengidentifikasi persoalan sosial yang mereka hadapi serta menemukan solusinya.
Misalnya, di daerah tersebut masalah sosial yang dihadapi adalah penyakit HIV-AIDS, tetapi persoalan utamanya adalah budaya minum minuman keras sampai mabuk. Oleh karena mereka mabuk, terjadilah hubungan bebas yang menimbulkan penularan HIV.
Jika perusahaan melalui CSR mampu mengubah budaya minum menjadi budaya penyaluran energi melalui olahraga, dan mengubahnya menjadi bisnis yang menghasilkan pendapatan untuk komunitas, ini merupakan inovasi CSR yang transformasional. Masyarakat, misalnya, dapat diajari membuat klub olahraga, diberi modal, difasilitasi mengikuti kompetisi, dan dibantu turut dalam lomba nasional maupun internasional. Hal ini akan menciptakan lapangan pekerjaan, menyelesaikan persoalan sosial, dan tidak menciptakan ketergantungan komunitas pada perusahaan. Jadi program CSR akan berkelanjutan.
Perusahaan juga dapat menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan bagi kaum muda komunitas terdekat agar mereka berkeinginan membuka lapangan pekerjaan dan memajukan daerahnya. Dengan demikian, dalam jangka panjang komunitas tidak akan tergantung pada perusahaan.
Adanya inovasi dapat membuat komunitas merasa senang dengan keberadaan perusahaan. Oleh karena aspek kebahagiaan (wellbeing) terpenuhi, mereka akan melindungi perusahaan karena tidak ingin kedamaian dan kebahagiaan mereka terusik. Hal ini tentu tidak memberi keuntungan langsung pada perusahaan. Akan tetapi, dalam jangka panjang, perusahaan akan merasakan manfaatnya.
*Penulis adalah Direktur Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Audit Dampak Tanggung Jawab Sosial
Audit Dampak Tanggung Jawab Sosial
Oleh: Maria R. Nindita Radyati, PhD
Perusahaan pada umumnya belum menganggap penting evaluasi pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosialnya.
Pada umumnya ukuran evaluasi pelaksanaan tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) berdasarkan output (hasil), bukan outcome (dampak). Misalnya, ukuran yang biasa digunakan adalah berapa jumlah program, berapa jumlah karyawan yang terlibat dalam program, atau berapa jumlah desa serta komunitas penerima program.
Perusahaan umumnya belum mengukur seberapa jauh dampak yang telah diciptakan oleh program atau kebijakan CSR yang telah dilaksanakannya. Padahal, dampak itu dapat dievaluasi melalui audit terkait hubungannya dengan tujuan bisnis dan para pemangku kepentingan perusahaan.
Tiga Hal Utama
Minimal, terdapat tiga hal utama yang penting diperhatikan dalam membuat sistem audit CSR, yakni dampak pelaksanaan CSR pada proses pencapaian tujuan bisnis perusahaan; dampak kegiatan CSR pada pemangku kepentingan internal dan eksternal; serta dampak kegiatan CSR pada proses pencapaian keberlanjutan.
Dalam mempersiapkan sistem audit, perlu dipertimbangkan adanya berbagai persepsi atas arti dan dampak CSR. Pemimpin perusahaan mungkin mempunyai orientasi utama pada dampak CSR terhadap bisnis perusahaan, sementara karyawan mengutamakan dampaknya terhadap kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pemangku kepentingan eksternal ingin perusahaan memperhatikan kebutuhan mereka, terutama dalam peningkatan keuangan rumah tangga.
Dengan demikian perusahaan harus membuat indikator yang mencakup persepsi berbeda-beda tersebut. Jika persepsi salah satu pemangku kepentingan dianggap salah, misalnya persepsi oknum pemerintah daerah (pemda) yang menganggap bahwa CSR adalah sumber anggaran daerah, perusahaan sebaiknya menyusun strategi untuk mengubah persepsi itu. Ini adalah pekerjaan yang sangat menantang.
Mesin ATM
Salah persepsi lain yang umumnya dihadapi korporasi adalah perusahaan dianggap mempunyai kewajiban menyediakan lowongan pekerjaan pada masyarakat sekitar. Selain itu, perusahaan juga dianggap sebagai “mesin ATM” yang punya banyak uang sehingga banyak pungutan tidak resmi yang dilakukan oknum pemerintah setempat. Hal ini yang kemudian menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan, yang pada umumnya dibebankan sebagai biaya CSR.
Ada pembelajaran yang bisa diperoleh dari suatu perusahaan multinasional di daerah Jawa Timur, yang berhasil mengurangi dampak “tekanan” dari oknum. Caranya dengan menerapkan sistem tata kelola secara sangat ketat. Perusahaan ini memperlakukan “pungutan” tersebut sebagai biaya transaksi atas jasa yang akan disediakan pemungut. Untuk itu, perusahaan meminta pihak yang melakukan pungutan agar mempersiapkan proposal kegiatan dan membuat laporan kegiatan yang akan diperhitungkan sebagai “jasa”. Misalnya, perusahaan meminta laporan disertai dengan dokumentasi (foto-foto) pelaksanaan kegiatan. Ternyata, cara tersebut cukup mampu meredam paksaan berupa pungutan liar.
Sistem seperti itu dipersiapkan perusahaan untuk menangani risiko terjadinya pembebanan biaya yang terlalu tinggi untuk perusahaan, khususnya biaya untuk tanggung jawab sosial.
Tingkatkan Harga Saham
Oleh karena tidak dapat dihindari bahwa tujuan bisnis perusahaan adalah meningkatkan harga saham, CSR perlu dievaluasi apakah dapat meningkatkan harga saham perusahaan. Harga saham sebenarnya ditentukan permintaan atas saham perusahaan. Makin banyak investor yang berminat membeli saham perusahaan, harga saham akan meningkat. Yang perlu dicermati adalah apakah yang menyebabkan harga saham meningkat adalah faktor internal atau faktor eksternal perusahaan?
Pembahasan kali ini akan terfokus pada faktor internal, yakni penciptaan keuntungan melalui peningkatan penjualan dan reputasi perusahaan. Jika reputasi perusahaan meningkat dengan adanya kegiatan CSR, kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan penjualan. Di sisi lain, keuntungan juga meningkat jika terdapat penghematan. Dengan program dan kebijakan CSR yang tepat, biaya relasi dengan pemangku kepentingan pun akan dapat dihemat sehingga dapat menurunkan biaya total.
Terdapat beberapa jenis audit CSR yang dapat dilakukan perusahaan, yakni audit sosial, lingkungan, finansial; serta audit internal dan eksternal. Jika audit internal dijalankan perusahaan, audit eksternal dilaksanakan pihak ketiga di luar perusahaan. Jika audit finansial lebih mudah mengukurnya karena sangat kuantitatif, audit nonfinansial dari CSR cukup rumit, karena sangat kualitatif. Akan tetapi, bukan tidak mungkin audit kualitatif CSR tersebut juga dikuantitatifikasi.
Aspek Keberlanjutan
Menurut Compass Atkisson (2008), audit dampak bisa mengacu pada aspek keberlanjutan yang dapat dipergunakan juga dalam CSR, yakni ekonomi, masyarakat, lingkungan, dan kebahagiaan (wellbeing). Audit ini dapat dilakukan berdasarkan indikator masing-masing aspek.
Indikator ekonomi di luar ukuran yang biasa digunakan adalah tata kelola perusahaan, kejelasan sistem manajemen, serta kejelasan sistem penghargaan dan sanksi, dan lainnya. Yang cukup menantang adalah indikator kebahagiaan. Indikator ini menggambarkan kesejahteraan individu, di antaranya kesehatan, ketenangan hidup, rasa aman, akses terhadap pendidikan, serta kepercayaan diri.
Indikator society di antaranya adalah kerukunan warga, tingkat kesehatan masyarakat, kemudahan akses memperoleh pelayanan kesehatan, serta tingkat perhatian/pelibatan masyarakat dalam program-program CSR yang dilakukan perusahaan.
Persoalannya adalah bagaimana membuat kebijakan atau program CSR yang baik. Menurut peneliti audit CSR, Risako Marimoto, terdapat enam aspek penting yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan CSR, yakni pengelolaan pemangku kepentingan, kepemimpinan perusahaan; bagaimana pemimpin memprioritaskan CSR; integrasi CSR dalam kebijakan perusahaan dalam semua tingkatan dan divisi dalam perusahaan; pemahaman terhadap regulasi; serta pelaksanaan CSR yang berkoordinasi dengan lembaga nonpemerintah, masyarakat, dan pemerintah setempat.
*Penulis adalah Direktur Program Magister Management-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Sinar Harapan
Langganan:
Komentar (Atom)